Terbatasnya stok minyak goreng di negeri ini sangat terasa bagi kalangan masyarakat di Indonesia. Imbas dari kelangkaan minyak goreng tersebut, bukan hanya di rasakan oleh masyarakat kecil, namun hingga pada masayarakat kelas menengah ke atas. Betapa minyak goreng menjadi kebutuhan dasar yang harus tersedia di dapur dan dipergunakan hampir setiap hari. Artinya minyak goreng masuk kategorisasi sebagai kebutuhan pokok yang mau tidak mau wajib ada di dapur.
Lambannya pemerintah merespon atas kelangkaan minyak goreng itulah, maka suatu kewajaran kalau ibu Megawati Soekarno Putri sebagai tokoh bangsa memberikan rasa empati dan kperihatinan atas apa yang dirasakan oleh masyarakat atas terbatasnya stok minyak goreng sebagai kebutuhan dasar yang harus tersedia di dapur. Sebagai tokoh bangsa, tentunya harus memikirkan atas apa yang menjadi persoalan yang dihadapi masyarakatnya.
Pernyataan Ibu megawati sebenarnya hal yang biasa-biasa saja, karena ibu saya juga sekitar awal bulan Maret sudah menyampaikan pada anak-anak dan tetangganya bahwa kelangkaan minyak goreng jangan terlalu risau, sebaiknya makanan itu bisa di rebus sebagai alternatif. Misalnya ikan, tempe, dan pisang biasanya di goreng, maka bisa di rebus. Artinya kelangkaan minyak goreng masih ada alternatif lain yang bisa dilakukan dalam mengolah masakan agar dapat di konsumsi.
Diskusi yang berkembang atas pernyataan megawati wajar kalau menarik perhatian publik untuk di diskusikan, karena beliau merupakan tokoh sentral partai politik yang berkuasa di negeri ini. Misalnya Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) pengusung Presiden RI Joko Widodo- wakil Presiden RI KH. Ma’ruf Amin. Karena kader partai PDIP, sehingga wajar kalau di tegur oleh Bu Megawati secara halus agar segera dapat berbuat mengatasi kelangkaan minyak Goreng.
Selain itu Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) dari kader Partai PDIP Puan Maharani dan beberapa kementerian startegis merupakan kader partai PDIP. Artinya dengan stok kursi kekuasaan pengambilan kebijakan ada di lingkaran partai PDIP maka wajar kalau Bu Megawati memberikan teguran secara halus pada semua kader-kadernya yang ada di lingkaran pengambil kebijakan. Teguran Bu Megawati tidak terlalu keras, namun lebih pada memberikan solusi alternatif, sambil pemerintah segera mengambil kebijakan secepatnya.
Sebuah Seruan
Apabila dibandingkan dengan ibu saya menyampaikan kalimat yang sama pada anak-anaknya dan sanak tetangganya, tidak ada yang persoalkan dan bahkan ada yang mengikuti kata-kata ibu saya. Anak-anak dan sanak tetangganya pun menganggap bahwa solusi alternatif dari ibu saya itu masuk akal. Mungkin solusi alternatif ibu saya itu, juga ada ibu-ibu lain di negeri ini yang sudah melakukan terlebih dahulu bahwa makanan itu sebaiknya di rebus saat langkanya minyak goreng.
Pertanyaanya kemudian mengapa kebijakan di negeri ini tidak segera dilakukan secepat mungkin untuk segera membuka kran produksi minyak goreng?. Jawaban sementara yang harus diambil adalah karena minimnya produksi dan sirkulasi pasar tidak berjalan dengan baik. Bukankah kita sudah punya satgas pangan, kita sudah punya kementerian terkait dan ada lembaga negara lainnya misalnya Bulog dan PT. Perkebunan Nusantara yang membidangi tentang pangan.
Berdasarkan data tahun 2017-2021 dirilis oleh Kementerian Pertanian (Kementan) tercatat, luas perkebunan minyak kelapa sawit mencapai 15,08 juta hektare (ha) pada 2021. Luas perkebunan tersebut naik 1,5% dibanding tahun 2020 seluas 1,48 juta ha. Dari 15,08 juta ha. Secara kepemilikan Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8%). Kemudian, Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,08 juta ha (40,34%) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 tibu ha (3,84%).. Kementan juga mencatat, jumlah produksi kelapa sawit nasional sebesar 49,7 juta ton pada 2021. Angka tersebut naik 2,9% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 48,3 juta ton. (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/31). Kalau melihat angka tersebut, maka secara produksi harusnya tidak mengalami kelangkaan di tahun 2022, karena tahun 2021 tidak mengalami kelangkaan.
Pertanyaan besarnya adalah mengapa terjadi kelangkaan di tahun 2022 padahal di tahun 2021 dengan produksi yang sama tidak mengalami kelangkaan. Jawaban sementara berarti ada permainan dalam distribusi minyak goreng yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Untuk itulah pihak satgas sudah melakukan berbagai kegiatan sidak dan terjun langsung ke lapangan secara lengkap dan terstruktur. Anggota DPR RI juga sudah berupaya keras melakukan teguran dan bahkan memanggil menteri terkait agar dapat mengambil langkah-langkah strategis. Demikian juga dengan aparat hukum dan kepolisian sudah turun langsung mencari siapa pelaku menimbun dan menyimpan minyak goreng dengan jumlah yang sangat besar.
Segera Atasi Kelangkaan
Kemarahan anggota legislatif pun sudah mulai ditampakkan, karena lambannya mengunkap siapa sebenarnya para pemain dibalik kelangkaan minyak goreng ini. Sulitnya terungkap dibalik kelangkaan minyak goreng ini sehingga memunculkan berbagai spekulasi, pendapat dan bahkan kemarahan dari berbagai pihak. Antrian pun menjadi ajang tontonan setiap hari di berbagai sudut penjuru negeri ini, dan masyarakat rela berdesak-desakan demi mendapatkan 1 liter minyak goreng, itupun dengan harga yang bervariasi (antara Rp 14.000-20.000/ liter) karena tidak ada standarisasi harga yang mengatur pasar. Situasi itupun DPR RI menyampaikan kritikan agar minyak goreng jangan di lempar pada permainan pasar bebas, namun harus diambil alih oleh pemerintah agar harga dapat terstandarisasi.
Berbagai masukan di sampaikan oleh kalangan politisi dan bahkan masyarakat agar pemerintah mengatasi kelangkaan minyak goreng secepat mungkin karena ini kebutuhan sangat mendasar. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa bukankah negeri ini kita memiliki lahan sawit yang sangat luas sebagai bahan baku minyak goreng, mengapa tidak dimaksimalkan dengan baik potensinya. Kalau demikian adanya, maka apakah politisi kurang maksimal menyampaikan kritikan dan masukannya dan atau jangan-jangan pemerintah tidak memiliki lagi keiunginan untuk mengembangkan potensi penanaman kelapa sawit.
Secara sosiologis, sebenarnya perdebatan yang panjang dan kritikan dari berbagai segmentasi masyarakat serta antrian yang panjang dan harga tak terkendali di pasaran, maka wajar kalau Ibu Megawati sebagai negarawan menyampaikan strategi solusi alternatif yang sifatnya sementara menenangkan rakyat Indonesia. Sama halnya juga dengan ibu saya menenangkan dan menghibur anak-anaknya serta tetangganya bahwa mengolah makanan tidak selamanya bergantung pada minyak goreng.
Alternatif lain mengolah masakan adalah dengan merebus/ rebusan dan makanan yang di rebus sebenarnya lebih menyehatkan dan tidak banyak mengundang sumber penyakit. Sebenarnya masa-masa saya kecil pun, ibu saya lebih banyak menyajikan makanan di rebus dibandingkan dengan makanan goreng-gorengan. Situasi saat itu bukan karena minyak goreng lagi langka, namun ibu saya sering menyajikan makanan rebusan. Mungkin Bu Megawati juga sering menyajikan makanan rebusan, sehingga memberikan solusi alternatif bagi masyarakat Indonesia. Kalau demikan berarti solusi alternatif dari Bu Megawati sama dengan solusi Ibu saya untuk anak-anaknya dan tetangganya.
Suwaib Amiruddin
Sosiolog