Senin yang lalu (3/5), saya berbincang dengan kolega saya di kampus dan berbicarapun kita menggunakan masker dan menjaga jarak sebagaimana himbauan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, maka tetap ada rambu-rambunya. Berbagai aturan, himbauan dan arahan dari pemerintah untuk menertibkan masyarakat di negeri ini agar kita senantiasa mendukung program memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Indonesia. Hingga pada momentum budaya mudik lebaran pun tetap di larang untuk dilakukan bagi semua warga di negeri ini.
Kembali tadi dengan kolega saya, beliau juga berasal dari pulau Jawa dan harus berkantor hingga menjelang lebaran, karena bagi ASN tidak ada kata libur. Walaupun berkantor selama ini diatur jadwalnya bisa bekerja langsung masuk kantor dan atau bekerja jarak jauh dari rumah. Kolega saya bilang bahwa beliau tidak akan mudik tahun ini ke kampung halamannya karena adanya pengetatan dibeberapa ruas jalan yang akan di laluinya.
Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) ada juga himbauan agar tidak mudik, opsi inilah juga menjadi salah satu alasan kolega saya itu tidak mudik. Sebagai aparatur sipil Negara harus tertib dan taat pada aturan dan harus menjadi contoh tauladan bagi masyarakat yang lainnya. Selain itu TNI dan Polri pun diminta juga agar tidak mudik, apalagi aparatur kemananan negeri ini diturunkan ke lapangan untuk mengamankan kebijakan pemerintah soal larangan/ pengetatan mudik.
Fenomena di lapangan yang saya sakisikan di media elektronik dan televisi, pengetatan dilakukan di hampir semua wilayah di Indonesia. Akibat dari pengetatan wilayah tersebut, maka banyak warga yang tidak mengindahkan aturan untuk diminta balik ke daerah asalnya lagi. Aturan pengetatatan itulah salah satu cara yang tegas dilakukan oleh pemerintah agar memutus mata rantai penyebaran Virus Covid-19 antar wilayah dan antar daerah.
Kolega saya memberikan apresiasi pada pemerintah atas ketegasan yang dilakukan, yang penting kita semua berada posisi yang aman, nyaman dan terpenting penyebaran virus Covid-19 cepat terlewati. Demikian pula Kolega saya sudah pasrah untuk tidak pulang kampung (mudik) tahun ini. Harapannya tahun depan bisa mudik dan semoga kita semua dalam keadaan sehat. Mungkin kepasrahan Kolega saya itu, juga dilakukan oleh beberapa warga di negeri ini untuk tidak pulang kampung, demi untuk keselamatan bersama, sebagaiman dengan harapan Kolega saya tadi.
Pemerintah mengambil inisiatif kebijakan pengetatan untuk tidak pulang kampung/mudik, hanya untuk mengantisipasi terjadinya mobilitas penduduk yang berasal dari zona yang dianggap rawan ke zona yang dianggap aman dari virus Covid-19. Secara operasional, maka semua struktur yang mendukung pengetatan tersebut dikerahkan untuk lebih sistematis mengamankan kebijakan tersebut. Selain struktur yang dikerahkan, tentunya dibutuhkan pula kesadaran bersama dari semua warga dalam mendukung kebijakan pemerintah untuk tidak melakukan mobilitas yang tinggi.
Secara sosiologis, bahwa mudik kampung halaman setiap selesai lebaran sudah hampir dikatakan sebuah “kewajiban”, karena sejak nenek dan kakek kita sejak dulu sudah menjadi kebiasaan untuk pulang kampung/mudik lebaran. Makna pulang kampung sebenarnya bukan hanya sekedar pulang kampung melihat kampung halamannya. Lebih jauh, mudik memiliki makna silaturahmi antar tetangga, saudara, keluarga dan mungkin melepaskan kerinduan dengan kampung halaman. Mengapa mudik ini sangat penting, karena kebanyakan masyarakat kita, apabila bekerja di kota maka pulangnya bisa sekali setahun, dan momentum lebaran itulah menjadi kesempatan karena ada libur dan cuti dari tempat kerja. Seperti Kolega saya pulang kampung sudah diagendakan sekali setahun untuk kembali balik kampung halamannya bersama keluarga kecilnya.
Mudik lebaran memiliki nilai-nilai interaksi sosial antar kekerabatan untuk saling menyapa satu sama lainnya. Hubungan kekerabatan yang semakin jauh selama ini karena adanya faktor kesibukan dan tuntutan kerja jauh dari sanak keluarga, maka mudk lebaran ini merupakan wadah yang sangat mendasar mengarahkan masyarakat untuk bertemu sanak keluarganya di kampung halaman. Rasa kangen sesama kerabat itulah, bisa mengingatkan kembali betapa rindu dan senangnya bertemu sesama kerabatnya.
Ada lagi cerita yang menarik dari Kolega saya bahwa mudik bukan hanya melihat keluarga yang sudah lama dikenalnya, namun bisa juga ada keluarga baru bergabung karena adanya tali perkawinan. Bisa saja pada perjalanan tahun lalu ada yang menikah dan Kolega saya dapat bertemu pada saat mudik. Jadi mudik juga bisa silaturahmi dengan keluarga baru yang bergabung, dan menurut beliau itu pasti selalu ada. Belum lagi adanya bayi yang baru lahir merupakan faktor pendukung bertambahnya jumlah keluarga, dan momentumnya bisa bertemu pada saat mudik lebaran.
Mudik memang sangat indah, karena bisa bertemu dengan semua sanak keluarga baik yang lama maupun yang baru bergabung. Bahkan karena senangnya mudik, tersajikan pula berbagai makanan lokal yang menjadi tradisi habis lebaran. Menurut Kolega saya sajian makan merupakan tradisi yang tidak pernah hilang di momentum lebaran idul fitri. Makanan khas hingga kue lebaran pun tersaji. Bahkan Kolega sayapun menyebutnya mudik lebaran merupakan rangkaian pesta kehidupan dan bersilaturahmi.
Nilai mudik yang mengakar pada masyarakat Indonesia bukan berarti hilang, namun saat ini kita hanya diminta untuk bersabar untuk menunggu agar virus Covid-19 segera berakhir. Hikmahnya yang harus diambil pada momentum mudik saat ini, kita harus lebih banyak berada di rumah dan berinteraksi secara terbatas dengan lingkungan sekitar kita. Sebagai warga Negara yang baik, maka sebaiknya kita berkewajiban mendukung kebijakan pemerintah untuk melakukan pembatasan berinteraksi dan termasuk salah satunya mudik lebaran, dan menguji kesabaran kita semua. Itulah penutup kalimat dari Kolega saya.
Semoga apa yang dilakukan pemerintah hari ini terkait kebijakan mudik, memberikan manfaat kita semua dan menguji kesabaran kita untuk tidak mudik di tahun 2021, dan selamat buat Kolega saya sudah bersabar untuk tidak mudik dikampung halamannya tahun 2021.
Suwaib Amiruddin
Sosiolog