Saya teringat dengan seorang mahasiswa saya, pernah menceritakan bahwa orang tuanya adalah seorang petani di desanya dan termasuk petani yang sangat tekun dalam bertani. Kendala yang dihadapi adalah sumber air yang sangat sulit. Karena beliau bertani hanya mengandalkan tadah hujan. Artinya aktif menggarap tanah pertaniannya di saat musim hujan tiba. Semangat bertani akan semakin muncul apabila hujan sudah tiba.
Mendengarkan tentang kisah orang tua mahasiswa yang diceritakan pada saya, menandakan bahwa petani di desa dan terutama pada kawasan tertentu memiliki kesulitan dari sumber air. Infrastruktur sumber air sebenarnya bisa diperoleh bukan hanya dari tadah hujan dan atau dari irigasi. Mahasiswa saya memberikan solusi alternatif, bagaimana kalau ada sumur pompa saja yang disiapkan di desanya, maka akan memudahkan orang tuanya memperoleh sumber air untuk menyiram tanamannya.
Keluhan orang tua mahasiswa saya itu adalah ketersediaan air, karena air merupakan sumber terpenting dalam mengolah lahan pertanian. Walaupun keterbatasan air untuk pertanian, namun selama ini untuk sumber penghidupan orang tuanya dari hasil pertanian. Sawah dan ladang yang luasnya sekitar 3 hektare merupakan lahan milik orang tuanya yang selama ini di garap hingga anak-anaknya bisa menjadi sarjana dan bahkan sudah ada yang menjadi seorang guru. Saudara-saudaranya juga sudah menjadi sarjana dan bahkan ada yang sudah melanjutkan ke jenjang Program Magister (S2)
penghasilan petani bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan bahkan ke jenjang pendidikan tinggi. Ketekunan seirang petani yang memiliki cita-cita untuk memajukan anak-anaknya, tentu bukan tidak ada alasan. Seorang petani memiliki keinginan agar anak-anaknya bisa melanjukan pendidikannya ke jenang yang lebih tinggi agar kelak di masa depannya dapat memperbaiki nasibnya. Termasuk mahasiswa saya di dorong oleh orang tuanya untuk tetap melanjutkan pendidikan ke jengang yang lebih tinggi.
Pemenuhan kebutuhan hidup selama berkuliah di perguruan tinggi, biayanya ditanggung oleh orang tuanya dan semuanya berasal dari hasil pertanian. Semangat pendidikan bagi kalangan petani sebenarnya patut untuk diberikan apresiasi. Ternyata seorang petani yang berasal dari kampung terpencil dan sebuha desa yang aksesnya terbatas, namun memiliki cita-cita untuk memperbaiki nasib anak-anaknya sebagai bekal masa depan.
Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengubah nasib anak-anaknya dan bisa meraih kesuksesan di masa depan. Seorang petani yang tidak menamtkan sekolah dasar, namun memiliki cita-cita untuk mendorong pengembangan sumber daya manusia di desa. Kesadara orang tua yang berasal dari kalangan petani pun, sudah memikirkan dan berkomitmen bahwa kemajuan sebuah desa tidak terlepas dari ketersediaan sumber daya manusia.
Sumber daya manusia yang tersedia di desa, merupakan salah satu modal utama untuk memajukan di desa. Pemerintah Indonesia juga sudah memberikan obsesi dan cita-cita masa depan, bahwa pada tahun 2045 Indonesia akan memasuki masa emas. Salah satu indikator standar mendukung masa Indonesia emas adalah kemampuan sumber daya manusia dalam mengambil peran dan fungsi secara profesional. Apabila sumber daya manusia yang terbatas, maka akan sulit kita mewujudkan Indonesia emas. Kompetisi dan kompetensi secara global dapat kita peroleh apabila ada semangat yang sama dalam mendorong semua elemen menyiapkan sumberdaya manusia yang unggul.
Anak-anak desa hari ini yang memperoleh pendidikan tinggi, tentu dapat dipersiapkan menjadi insan-insan cendekia yang mengisi kantong-kantong kompetisi global pada tahun 2045. Anak desa memiliki peluang yang sangat besar untuk mengenyam pendidikan tinggi. Persoalannya adalah pembiayaam yang tidak dapat terjangkau. Pemerintah pusat sudah memasukkan anggaran pendidikan tinggai secara gratis dengan nama beasiswa bidik misi. Keterbatasan anggaran beasiswa bidik misi juga menjadi kendala dalam mewujudakn cita-cita bagi anak desa melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi.
Semangat dan jiwa orang tua mahasiswa saya untuk mendorong anak-anaknya melanjukan ke dunia pendidikan tinggi perlu diapresiasi. Kemungkinan orang tua mahasiswa saya juga tidak mengetahui bahwa ada cita-cita besar Bangsa Indonesia untuk memasuki gerbang Indonesia emas tahun 2045. Orang tua mahasiswa saya hanya ingin mendorong anak-anaknya menjadi anak yang bermanfaat dan berdaya guna di masa depannya. Selain itu, melalui pendidikan dapat menguah nasib anak-anaknya karena melalui pendidikan memiliki wawasan dan jaringan yang luas untuk berkompetisi.
Serang petani sawah dan ladang, dan hanya mengandalkan sumber air dari tadah hujan dan bertahan dan tetap semangat hingga saat ini tentu perlu mendapatkan apresiasi. Sebagai petani mengandalkan hujan sebagai sumber pengairan dari tadah hujan, tentu terbayangkan betapa beliau memiliki keterbatasan dalam mengolah lahan persawahan dan ladangnya. Diakhir diskusi saya dengan mahasiswa tadi, memberikan kesimpulan bahwa pemerintah seharusnya mendorong adanya pembangunan sumber pengairan di desa. Sumber air itu sebenarnya bukan hanya dari irigasi, namun bisa juga dari sumber sumur pompa. Maksudnya sumur bor dan airnya dingkat dari dalam tanah menggunakan teknologi mesin pompa. Harapannya, agar orang tuanya bisa mengolah sawah dan ladangnya kapan saja dan tanpa menunggu musim hujan. Semoga pemerintah daerah dan ataupun pemerintah pusat, mau hadir memberikan solusi atas harapan para petani di Indonesia.
Suwaib Amiruddin (Sosiolog)